PERUBAHAN BIODATA BUKU NIKAH


Menurut Pasal 24 ayat (2)  Undang-Undang Dasar 1945, Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman di samping Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer dan Mahkamah Konstutusi. Setiap lembaga peradilan tersebut mempunyai kompetensi absolut masing-masing. Yang dimaksud dengan kompetensi absolut atau kewenangan mutlak adalah kewenangan mengadili perkara tertentu oleh suatu badan peradilan yang secara mutlak tidak boleh diadili oleh lembaga peradilan lain. Pembagian kewenangan secara  absolut dimaksudkan agar tidak terjadi benturan kewenangan antar lembaga peradilan.
Kompetensi absolut pengadilan agama ditunjuk oleh ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Menurut pasal ini Pengadilan Agama  bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hUkum Islam, wakaf dan sedekah.

    Dalam perkembangan berikutnya, pengadilan agama mendapat dua tambahan kewenangan bedasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yaitu: penetapan pengangkatan anak dan ekonomi syariah. Yang termasuk ekonomi syariah menurut undang-undang ini adalah : bank syariah, lembaga keuangan syariah, asuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
    Di samping kewenangan yang diatur oleh undang-undang di atas, pengadilan agama juga mendapat kewenangan tambahan yang ditunjuk oleh Menteri Agama Republik Indonesia yaitu ketika terbit Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.
    Pada peraturan ini Pengadilan Agama mendapat kewenangan mengadili “perubahan bio data.”Kewenangan ini ditunjuk oleh Pasal 34 ayat 2. Ketentuan pasal tersebut berbunyi :”Perubahan yang menyangkut biodata suami, istri, dan wali harus berdasarkan putusan pengadilan pada wilayah yang bersangkutan”. Yang dimaksud pengadilan tersebut menurut Pasal 1 angka 5, adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyyah.
    Sebagai perkara baru, kewenangan terakhir ini berikut menjadi sangat istimewa. Intensitasnya sebagai perkara masuk relatif tinggi dibanding perkara baru lainnya  dan secara statistik jelas menambah jumlah perkara masuk di Pengadilan Agama meningkat.  Di samping itu juga hampir merata di terima oleh hampir seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Mengapa?
    Dari data perkara yang masuk dapat diperoleh gambaran bahwa  pencatatan perkawinan selama ini menyisakan berbagai problem ketika harus disinergikan dengan data kependudukan. Problem tersebut berawal dari ketidakakuratan identitas ketika dikaitkan dengan dokumen pribadi yang bersangkut an yang lain seperti ijazah dan e-KTP. Rupanya banyak orang yang sembrono mencantumkan identitasnya dalam surat nikah.
    Contoh yang sering kita jumpai adalah seseorang bisa mempunyai lebih dari satu KTP dengan nama yang berbeda-beda. Fenomena demikian juga menggambarkan betapa kacaunya sistem administrasi kependudukan waktu itu. Sebagai contoh, banyak Kepala Desa memberikan data identitas kependudukan seseorang terkesan semaunya seperti menulis nama, tanggal lahir, nama orang tua berdasarkan keterangan lisan yang bersangkutan tanpa didukung dengan bukti yang akurat.
    Celakanya, data tersebut oleh KUA dipergunakan begitu saja untuk menulis akta perkawinan yang bersangkutan. Akibat lebih jauh tidak hanya sebatas itu. Dengan identitas yang berbeda, seseorang juga bisa mempunyai istri lebih dari satu, tanpa izin pengadilan. Bahkan yang lebih tragis, bermula dari kekacauan data kependudukan ini, ada seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu.
    Pada saat sistem administrasi kependudukan mulai ditertibkan yang dimulai dengan e-KTP ketidakberesan penulisan identitas mulai kelihatan dan tampaknya harus berakhir. Seseorang tidak lagi dapat mempunyai lebih dari satu nama. Bahkan, yang lebih fundamental, seseorang kini hanya dapat mempunyai satu KTP, karena setiap orang hanya boleh mempunyai satu Nomor Induk Kependudukan (NIK).  Pada saat yang sama banyak Kutipan Akta Nikah yang pada kolom biodata seperti nama istri atau suami tanggal lahir dan nama wali ditulis secara tidak tepat. Akibatnya, banyak umat Islam tidak dapat mengurus dokumen keimigrasian, seperti paspor. Contoh akibat langsungnya, banyak umat Islam yang terancam tidak bisa naik haji. Atau, dampak yang menyangkut dokumen kependudukan terkait, seperti akta kelahiran anak.
    Oleh karena itu, terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 11 tahun 2007 merupakan jawaban atas kekacauan pencatatan perkawinan, sekaligus sebagai solusi, khususnya bagi umat Islam, atas kesemrawutan yang mengangkut biodata dalam akta nikah.
    Akan tetapi, banyak yang belum tahu, kini dasar kewenangan Pengadilan Agama mengadili perkara perubahan biodata telah dicabut oleh PMA Nomor 19 Tahun 2018 yang diundangkan sejak tanggal 27 Agustus 2018.
    Pasal 34 ayat (1) PMA Nomor 19 Tahun 2018 memberikan ketentuan: “Pencatatan perubahan nama suami, istri, dan wali harus berdasarkan penetapan pengadilan negeri pada wilayah yang bersangkutan”
    Dengan demikian sejak 27 Agustus 2018 perkara perubahan bio data yang semula, menurut PMA Nomor 11 tahun 2007, menjadi kewenangan Agama, menurut PMA Nomor 19 Tahun 2018 beralih menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
    Akan tetapi, pencabutan PMA Nomor 11 Tahun 2007, khususnya yang menyangkut ketentuan Pasal 34 ayat (2) masih menyisakan pertanyaan kecil. Apakah pencabutan kewenangan ini suatu kesengajaan atau kekhilafan (seperti karena kesalahan ketik dsb? Mengingat UU yang dijadikan konsideran PMA hanya UU Peradilan Agama dan bukan Peradilan Umum. Mengenai hal ini, menurut sumber tidak resmi, diperoleh informasi dari para pejabat yang berkompeten di Kemenag, bahwa perpindahan kewenangan yang terkesan ‘mendadak’ ini hanya disebabkan oleh suatu ‘kesalahan teknis’.
    Artinya, perubahan bio data masih menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Pada saat yang sama, dalam berbagai kesempatan para petinggi di Mahkamah Agung juga sering menegaskan, bahwa perubahan bio data tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Akan tetapi, menurut hemat penulis, sebelum PMA terakhir (PMA Nomor 19 Tahun 2018)  ini dicabut, tetap ada alasan bagi Hakim untuk menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili perkara biodata ini. Dan, sebagai jalan keluarnya, ‘untuk sementara’ para pengaju perkara dipersilakan mengajukannya ke Pengadilan Negeri.

    Komentar

    Postingan populer dari blog ini

    TARIF PENGACARA DI MAGELANG

    PERUBAHAN BIODATA AKTA KELAHIRAN

    PENYELESAIAN SENGKETA TANAH